Franco melarang penggunaan bendera dan bahasa daerah Catalan. FC
Barcelona kemudian menjadi satu-satunya tempat dimana sekumpulan besar
orang dapat berkumpul dan berbicara dalam bahasa daerah mereka. Warna
biru dan merah marun Barcelona menjadi pengganti yang mudah dipahami
dari warna merah dan kuning (bendera) Catalonia.
Franco kemudian bertindak lebih jauh. Josep Suol, Presiden Barcelona
waktu itu, dibunuh oleh pihak militer pada tahun 1936, dan sebuah bom
dijatuhkan di FC Barcelona Social Club pada tahun 1938. Di lapangan
sepakbola, titik nadir permusuhan ini terjadi pada tahun 1941 ketika
para pemain Barcelona diinstruksikan (dibawah ancaman militer) untuk
kalah dari Real Madrid.
Barcelona kalah dan gawang mereka kemasukan 11 gol dari Real Madrid.
Sebagai bentuk protes, Barcelona bermain serius dalam 1 serangan dan
mencetak 1 gol. Skor akhir 11-1, dan 1 gol itu membuat Franco kesal.
Kiper Barcelona kemudian dijatuhi tuduhan apengaturan pertandingan dan
dilarang untuk bermain sepakbola lagi seumur hidupnya.
Sejak saat itu FC Barcelona menjadi semacam klub anti-franco dan menjadi
simbol perlawanan Catalonia terhadap Franco, dan secara umum, terhadap
Spanyol. Ada juga klub-klub lain di Catalonia seperti Athletic Bilbao
dan Espanyol. Athletic Bilbao sampai saat ini tetap pada idealismenya
untuk hanya merekrut pemain-pemain asli Basque, tetapi dari segi
prestasi tidak sementereng Barcelona.
Demikian juga dengan Espanyol. Sementara yang dijadikan simbol musuh,
tentu saja, adalah klub kesayangan Franco yang bermarkas di ibukota
Spanyol, FC Real Madrid. Sebagai
sebuah simbol perlawanan, kultur dan karakter Barcelona kemudian
terbentuk dengan sendirinya. Siapapun pelatihnya, dan gaya apapun yang
dipakai, karakternya hanya satu: Menyerang!.
Sebagai penyerang, Barcelona bermaksud untuk mendobrak dominasi Real
Madrid (dan bagi orang Catalonia, mendobrak dominasi Spanyol). Untuk
itulah Barcelona pantang bermain bertahan, karena itu adalah simbol
ketakutan. Kalah atau menang adalah hal biasa. Tapi keberanian memegang
karakter, itulah yang menjadi simbol perlawanan.
Pada tahun 50-an dan 60-an, Barca memang tertutup oleh kejayaan Real
Madrid yang waktu itu diperkuat Ferenc Puskas, Di Stefano, dsb. Sebagai
anak emas Franco sejak tahun 1930-an, Real Madrid memang selalu memiliki
sumber dana besar untuk belanja pemain. Barcelona sendiri, pada 2
dasawarsa tersebut hanya bisa memenangi 4 kali liga spanyol, 2 kali
piala raja, dan satu kali piala Inter City Honest (yang kemudian menjadi
UEFA Cup).
Pada tahun 1973, seorang pemain Belanda yang kelak menjadi salah satu
legenda Barcelona, Johan Cruyff, bergabung dari Ajax. Dalam pernyataan
persnya ketika diperkenalkan, Cruyff menyatakan bahwa ia lebih memilih
Barcelona dibanding Real Madrid karena ia tidak akan mau bermain di
sebuah klub yang diasosiasikan dengan Franco.
Bersama kompatriotnya, Johan Neeskens, mereka langsung membawa Barcelona
memenangi gelar liga spanyol (setelah sebelumnya 14 tahun puasa gelar),
dan dalam prosesnya tahun itu sempat mengalahkan Real Madrid di kandang
Madrid sendiri dengan skor 5-0 (!).
Pada tahun itu Johan Cruyff dinobatkan sebagai pesepakbola terbaik
Eropa, dan memberi nama anaknya dengan nama khas Catalan, yaitu Jordi.
Statusnya sebagai legenda menjadi abadi. Jordi Cruyff sendiri pada
akhirnya tidak pernah bisa sebesar ayahnya. Karir sepakbolanya lebih
banyak dihabiskan di klub-klub medioker, meski sempat beberapa tahun
memperkuat Manchester United.
Selanjutnya, permusuhan itu terus ada, meskipun tidak sesengit pada
tahun-tahun awalnya, sampai sekarang. Bisa dibilang, rivalitas saat ini
sudah lebih sportif dan berjalan dengan lebih sehat. Tapi permusuhan
yang sejak dulu telah begitu mengakar menjadikan duel diantara keduanya
selalu menjanjikan sesuatu yang spesial.
Inilah mengapa duel antara Barcelona dengan Real Madrid yang terjadi
setidaknya 2 kali setiap tahunnya (di liga Spanyol) disebut dengan el
classico, karena memang menyajikan satu duel klasik dengan sejarah
panjang terbentang dibelakangnya.
Meski berulang setiap tahun, akan tetapi saking monumentalnya duel ini
membuat Johan Cruyff dan Bobby Robson ketika menjadi pelatih Barcelona
pada era akhir 1980-an sampai akhir 1990-an sampai mengibaratkan el
classico sebagai sebuah perang, bukan sekedar pertandingan sepak bola.
Baik pelatih Real Madrid maupun pelatih Barcelona ketika menghadapi el
classico akan merasa seperti membawa sepasukan 'serdadu' perang, bukan
sebuah 'kesebelasan' sepak bola, karena begitu besarnya kehormatan yang
dipertaruhkan.
Demikian juga pertaruhan bagi pelatih, karena ketika dia diangkat
sebagai pelatih seolah sudah ada beban yang diberikan oleh klub:
"Anda boleh kalah dari siapa saja di liga ini, tapi JANGAN sampai kalah dari Real Madrid...!!
Meski begitu di dalam lapangan, peperangan ini sepanjang sejarahnya
selalu berlangsung dalam sportifitas yang tinggi, karena sportifitas pun
merupakan satu bentuk kehormatan yang harus dijaga. Ini soal nama baik.
Read more:
http://www.atjehcyber.net/2012/03/sejarah-permusuhan-barcelona-dan-real.html#ixzz2QFpi93Da
Tidak ada komentar:
Posting Komentar