Semoga kautahu, aku berjuang, setiap hari untuk melupakanmu. via http://www.wallsave.com
Kamu
pernah menjadi bagian hari-hariku. Setiap malam, sebelum tidur,
kuhabiskan beberapa menit untuk membaca pesan singkatmu. Tawa kecilmu,
kecupan berbentuk tulisan, dan canda kita selalu membuatku tersenyum
diam-diam. Perasaan ini sangat dalam, sehingga aku memilih untuk
memendam.
Jatuh cinta terjadi karena proses yang cukup panjang, itulah proses
yang seharusnya aku lewati secara alamiah dan manusiawi. Proses yang
panjang itu ternyata tak terjadi, pertama kali melihatmu; aku tahu suatu
saat nanti kita bisa berada di status yang lebih spesial. Aku terlalu
penasaran ketika mengetahui kehadiranmu mulai mengisi kekosongan hatiku.
Kebahagiaanku mulai hadir ketika kamu menyapaku lebih dulu dalam pesan
singkat. Semua begitu bahagia.... dulu.
Aku sudah berharap lebih.
Kugantungkan harapanku
padamu. Kuberikan sepenuhnya perhatianku untukmu. Sayangnya, semua hal
itu seakan tak kaugubris. Kamu di sampingku, tapi getaran yang
kuciptakan seakan tak benar-benar kaurasakan. Kamu berada di dekatku,
namun segala perhatianku seperti menguap tak berbekas.
Apakah kamu benar tidak memikirkan aku? Bukankah kata teman-temanmu,
kamu adalah perenung yang seringkali menangis ketika memikirkan sesuatu
yang begitu dalam? Temanmu bilang, kamu melankolis, senang memendam, dan
enggan bertindak banyak. Kamu lebih senang menunggu. Benarkah kamu
memang menunggu? Apalagi yang kautunggu jika kausudah tahu bahwa aku
mencintaimu?
Tak mungkin kau tak tahu ada perasaan aneh di dadaku.
Kekasihku yang belum sempat kumiliki, tak mungkin kautak memahami
perjuangan yang kulakukan untukmu. Kamu ingin tahu rasanya seperti aku?
Dari awal, ketika kita pertama kali berkenalan, aku hanya ingin
melihatmu bahagia. Senyummu adalah salah satu keteduhan yang paling
ingin kulihat setiap hari. Dulu, aku berharap bisa menjadi salah satu
sebab kautersenyum setiap hari, tapi ternyata harapku terlalu tinggi.
Semua telah berakhir. Tanpa ucapan pisah. Tanpa lambaian tangan.
Tanpa kaujujur mengenai perasaanmu. Perjuanganku terhenti karena aku
merasa tak pantas lagi berada di sisimu. Sudah ada seseorang yang baru,
yang nampaknya jauh lebih baik dan sempurna daripada aku. Tentu saja,
jika dia tak sempurna—kautak akan memilih dia menjadi satu-satunya
bagimu.
Setelah tahu semua itu, apakah kamu pernah menilik sedikit saja
perasaanku? Ini semua terasa aneh bagiku. Kita yang dulu sempat dekat,
walaupun tak punya status apa-apa, meskipun berada dalam ketidakjelasan,
tiba-tiba menjauh tanpa sebab.
Aku yang terbiasa dengan sapaanmu di pesan singkat harus (terpaksa)
ikhlas karena akhirnya kamu sibuk dengan kekasihmu. Aku berusaha
memahami itu. Setiap hari. Setiap waktu. Aku berusaha meyakini diriku
bahwa semua sudah berakhir dan aku tak boleh lagi berharap terlalu jauh.
Tuan, jika aku bisa langsung meminta pada Tuhan, aku tak ingin
perkenalan kita terjadi. Aku tak ingin mendengar suaramu ketika
menyebutkan nama. Aku tak ingin membaca pesan singkatmu yang lugu tapi
manis. Sungguh, aku tak ingin segala hal manis itu terjadi jika pada
akhirnya kamu menghempaskan aku sekeji ini.
Kalau kauingin tahu bagaimana perasaanku, seluruh kosakata dalam
miliyaran bahasa tak mampu mendeskripsikan. Perasaan bukanlah susunan
kata dan kalimat yang bisa dijelaskan dengan definisi dan arti. Perasaan
adalah ruang paling dalam yang tak bisa tersentuh hanya dengan perkatan
dan bualan.
Aku lelah. Itulah perasaanku. Sudahkah kaupaham? Belum. Tentu saja.
Apa pedulimu padaku? Aku tak pernah ada dalam matamu, aku selalu tak
punya tempat dalam hatimu.
Setiap hari, setiap waktu, setiap aku melihatmu dengannya; aku selalu
berusaha menganggap semua baik-baik saja. Semua akan berakhir seiring
berjalannya waktu. Aku membayangkan perasaanku yang suatu saat nanti
pasti akan hilang, aku memimpikan lukaku akan segera kering, dan tak ada
lagi hal-hal penyebab aku menangis setiap malam. Namun.... sampai kapan
aku harus terus mencoba?
Sementara ini saja, aku tak kuat melihatmu menggenggam jemarinya.
Sulit bagiku menerima kenyataan bahwa kamu yang begitu kucintai ternyata
malah memilih pergi bersama yang lain. Tak mudah meyakinkan diriku
sendiri untuk segera melupakanmu kemudian mencari pengganti.
Seandainya kamu bisa membaca perasaanku dan kamu bisa mengetahui isi
otakku, mungkin hatimu yang beku akan segera mencair. Aku tak tahu apa
salahku sehingga kita yang baru saja kenal, baru saja mencicipi cinta,
tiba-tiba terhempas dari dunia mimpi ke dunia nyata. Tak penasarankah
kamu pada nasib yang membiarkan kita kedinginan seorang diri tanpa teman
dan kekasih?
Aku menulis ini ketika mataku tak kuat lagi menangis. Aku menulis ini
ketika mulutku tak mampu lagi berkeluh. Aku mengingatmu sebagai sosok
yang pernah hadir, meskipun tak pernah benar-benar tinggal. Seandainya
kautahu perasaanku dan bisa membaca keajaiban dalam perjuanganku,
mungkin kamu akan berbalik arah—memilihku sebagai tujuan. Tapi, aku
hanya persinggahan, tempatmu meletakan segala kecemasan, lalu pergi
tanpa janji untuk pulang.
Semoga kautahu, aku berjuang, setiap hari untuk melupakanmu. Aku
memaksa diriku agar membencimu, setiap hari, ketika kulihat kamu bersama
kekasih barumu. Aku berusaha keras, setiap hari, menerima kenyataan
yang begitu kelam.
Bisakah kaubayangkan rasanya jadi orang yang setiap hari terluka,
hanya karena ia tak tahu bagaimana perasaan orang yang
mencintainya? Bisakah kaubayangkan rasanya jadi aku yang setiap hari
harus melihatmu dengannya?
Bisakah kaubayangkan rasanya jadi seseorang yang setiap hari menahan tangisnya agar tetap terlihat baik-baik saja?
Kamu tak bisa. Tentu saja. Kamu tidak perasa.