Minggu, 15 November 2015

Untuk Diriku Sendiri yang Memilih Pergi, Ketika Kita Tak Lagi Satu Frekuensi

“Buat apa punya pasangan jika hatinya tak satu frekuensi?”
Bagiku, menemukan pasangan yang demikianadalah ambisi tersendiri. Menurutku, satu frekuensi adalah ketika kita merasakan segala sesuatunya bersama. Bukancuma kadar perasaan yang sama, tapi jugacara berpikir dan prinsip-prinsip hidup yang tak jauh berbeda.
Tapi, aku pun tak menyangka bahwa perjuangannya akan sesulit ini. Menyatukan dua kepala manusia dengan latar belakang berbeda sulitnya luar biasa. Aku dan kamu memang pernah sama-sama berusaha. Hingga di satu titik, aku akhirnya mantap menyerah juga.

Kita pernah jatuh cinta dan saling tergila-gila. Selain kamu, tak ada laki-laki lain yang membuatku sebegini nyamannya.


Masih lekat dalam ingatan, bagaimana aku dan kamu mengawali sebuah pertemuan. Berkat campur tangan seorang teman, aku seperti menemukan pria yang selama ini diimpi-impikan. Selain garis rahang tegas dancaramu berpenampilan yang membuatku kelimpungan, kita pun ternyata punya banyak kesamaan.
Dari mulai bacaan hingga selera musik pun hampir sama. Kebiasaan-kebiasaan sederhana hingga cara kita berpikir saat menyelesaikan masalah juga tak jauh beda. Aku selalu bersyukur bisa menemukan pria yang membuatku sedemikian nyamannya. Pikirku kamu pasti akan jadi rekan menua bersama yang tak ada kurangnya.


Bersamamu tak gentar kuhadapi kerasnya dunia. Di sisimu aku merasacukup sebagai wanita.


Kamu memang bukan pria yang akan mengiyakan semua inginku. Bukan pula tipe pria yang akan sering-sering mengirimiku bunga atau rela repot-repot menyiapkan kejutan di hari ulang tahunku. Pendampingan tak sesederhana hal-hal itu.
Sehari-harinya kamu justru akan repot memastikan agar aku tak lupa makan lantaran sibuk bergumul dengan tugas-tugas kuliah. Kamu akan mulai cerewet jika aku ketahuan begadang mengerjakan soal-soal kuliah, makalah dan powerpoint. Tapi di lain hari, kamu pula yang akan menyemangati saat berbagai kesulitan harus kuhadapi. Selain bahumu yang jadi tempatku bersandar saban hari, telingamu pun tak lelah mendengarka apa saja yang aku rutuki.


Tapi, kebersamaan kita bukannya tanpa cela. Toh, menyatukan dua kepala juga bukan perkara yang sederhana.


Bohong jika aku mengaku kita tak pernah berselisih paham. Nyatanya, sesekali kita pernah bertengkar hebat ketika ada dua pendapat yang bertabrakan. Aku juga bukan wanita super sabar yang bisa mengendalikan ketika amarahmu tak dapat lagi diredam.
Untungnya, setiap perselisihan kita dahulu selalu menemukan solusi yang berimbang. Aku dan kamu sepakat agar satu sama lain tak memaksakan keinginan. Kita akan memilih jalan tengah dimana dua pemikiran yang berbeda pasti bisa dikompromikan.


Sayangnya, tak melulu kita bisa berkompromi. Dan di titik ini aku menyadari bahwa kita tak lagi satu frekuensi.


Ada saat dimana aku sangat menikmati duduk sendiri. Berteman secangkir kopi sambil mengamati hujan, awan, atau apa saja yang ditangkap mataku. Dalam diam sesungguhnya aku sedang berpikir, merenungi tentang aku dan kamu serta segala yang sudah kita lewati bersama.
Jujur keyakinanku tak sekuat dahulu. Meski masih berharap bisa melanjutkan masa depan denganmu, banyak hal yang nyatanya membuatku ragu. Ada kalanya aku merasa kamu tak bisa berkompromi dengan prinsip-prinsip hidupku. Ada saatnya aku pun meyakini bahwa jalan yang kau pilih itu keliru. Dan di titik itu kita menemui jalan buntu.


Melanjutkan hubungan ini berarti memaksakan diri. Berdua kita akan sama-sama tersakiti.


Aku percaya bahwa dua orang yang berjodoh tak harus berjuang sekeras ini. Dua manusia yang sudah direstui Tuhan tak mesti berkorban demi pasangan dan menyakiti diri sendiri. Segalanya akan dimudahkan hingga melenggang ke pernikahan.
Sayangnya, yang terjadi pada kita justru jauh berbeda. Setelah beberapa tahun kita lewati bersama, mungkin inilah saat yang tepat untukku menyerah saja. Aku dan kamu tak seharusnya meremang dalam masalah yang tak ada habisnya. Berpisah mungkin satu-satunya jalan yang akan mengantarkan kita pada bahagia.


Diriku ini sudah mantap memilih pergi. Demi kebahagiaanku sendiri dan untuk pria yang pernah sangat aku cintai.

Merelakan ribuan hari yang pernah kita lalui jelas tak mudah. Bagaimana pun, kebersamaan denganmu adalah kenangan terindah. Dalam hidupmu, aku bersyukur jadi salah satu wanita yang pernah singgah. Meski akhirnya menyerah, setidaknya aku pernah berjuang hingga tak kenal lelah.
Untuk diriku sendiri, semoga setelah ini semakin mantap melangkahkan kaki. Walaupun harus berjalan tanpa seorang pendamping di sisi, apapun itu pasti bisa terlewati. Semoga dalam perjalanan nanti dipertemukan dengan pria yang selainnya lagi. Dia yang satu frekuensi, yang kelak menemani hingga habis usia ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar